Angola: Anugerah atau Kutukan

Angola: Anugerah atau Kutukan

angola

Oleh:
M.R Satria Wardhana

Angola merupakan sebuah negara yang terletak di bagian selatan dari benua Afrika. Negara ini merupakan salah satu yang memiliki kandungan bumi yang sangat berlimpah, kelimpahan sumber daya Angola meliputi, minyak, berlian, bijih besi, fosfat, tembaga, emas, uranium dsb.

The Miracle of Black Gold

Dibalik kelimpahan sumber daya alam (SDA), Angola memiliki sejarah yang sangat kelam. Penjajahan oleh Portugis dan Perang sipil yang berlangsung dalam rentang tahun 1575 hingga 2002 telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan di Angola, keduanya bermuara dari perebutan hak penguasaan atas kekayaan SDA itu pula. Ketika negara ini tampaknya sudah menjadi salah satu negara gagal dalam peta dunia. Justru hal sebaliknya terjadi, kekayaan sumber daya alam dan mineral mengubah wajah Angola selamanya. Terima kasih kepada melonjaknya harga minyak di pasaran dunia pada awal 2000-an, oil booming membuat Angola menerima manfaat yang amat besar dari penjualan minyak tersebut. kalimat yang digunakan oleh Michael Spitcer “The oil boom has transformed a failed state into one of the world’s fastest-growing economies”, bukan hanya menjadi isapan jempol belaka, menurut auditor Ernst and Young dalam kurun waktu 2002 hingga 2010 Angola menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia, bahkan mengalahkan pertumbuhan ekonomi China, Angola memegang pertumbuhan 11.1% sementara China dengan 10.5% (bbc.co.uk, 2014). IMF pada tahun 2007 melalui Article staff consultation merilis pertumbuhan ekonomi Angola, berikut dua poin penting yang terjadi di Angola pada saat itu, GDP Angola tumbuh meningkat dari 3.3% di 2003 menjadi 23.4% di 2007 dan Inflasi turun dari angka yang melebih 100% di tahun 2003 menjadi 12% di tahun 2007 (Herbert, 2010: 68).

Natural Resources Curse

Richard Auty pada tahun 1993 menggunakan kata kutukan SDA untuk menggambarkan situasi dimana sebuah negara yang memiliki kelimpahan SDA tidak dapat menggunakan kekayaan itu untuk meningkatkan perekonomian mereka dan bagaimana negara itu memiliki pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari negara-negara tanpa kelimpahan SDA bahkan telah terdapat gap yang cukup jauh antara negara miskin sumber daya dengan negara kaya sumber daya (Auty, 2001: 180). Selanjutnya, Auty juga menambahkan bahwa negara kaya SDA ini cenderung berkembang sangat lambat, sangat koruptif, sangat keras dan dengan pemerintahan yang otoriter. John. L. Hammond menyatakan bahwa negara miskin dengan anugerah SDA berlimpah, terutama minyak, sering tidak mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan karena ukuran dan volatilitas pendapatan minyak mendorong korupsi, mismanagement, otoriter dan pemerintah gagal untuk berinvestasi untuk masa depan atau menyediakan untuk kesejahteraan mayoritas penduduk mereka (Science & Society, Vol 75, 2011: 348-349).

Tholvadul Gylfasson dalam tulisannya pada harian New York Times edisi 1 Agustus 2001 menyebutkan bahwa “If oil revenue is managed well, it can educate, heal and provide jobs for the people. But oil brings risks as well as benefts. Rarely have developing countries used oil money to improve the lives of the majority of citizens or bring steady economic growth. More often, oil revenues have caused crippling economic distortions and been spent on showy projects, weapons and Paris shopping trips for government officials”

Angola: Endowment or Curse?

Dalam klasifikasi negara yang dibuat Bank Dunia, Angola menempati golongan  negara menengah ke atas, namun hal yang kontras justru terjadi sebaliknya jika mengacu pada rangking Angola dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2014, Angola berada pada urutan 149 dari 168 negara (UNDP, 2014). Jika meninjau keberadaan yang negara yang berpenduduk 24.3 juta jiwa tersebut dari segi IPM, tentunya terdapat sesuatu yang salah dengan Angola. Hal tersebut diamini oleh Presiden Dos Santos dihadapan parlemen tahun 2014, dimana beliau menyebutkan bahwasanya sebanyak 54% masyarakat Angola masih hidup dibawah garis kemiskinan.

Sejatinya ketimpangan di Angola sudah mencapai level yang sangat luar biasa, organisasi berbasis agama, Christian aid mengungkapkan bahwa “No country displays the gap between rich and poor more starkly than Angola. The country’s territory is immense and rich in natural resources, but only a minority of its citizens benefit from its wealth” (Christianaid.org.uk, 2014).

Pertumbuhan yang terjadi di Angola hanya berkonsentrasi pada ibukota saja. Hal ini pula yang mendorong Luanda menjadi provinsi terpadat di negara tersebut, sementara kekayaan minyak Angola hanya dinikmati oleh kalangan keluarga dan kolega Presiden Jose Eduardo dos Santos yang telah berkuasa semenjak 1976 yang kemudian bentuk pemerintahan Angola bercorak kleptokrasi, (bbc.co.uk, 2015).

Pernyataan yang dikatakan Auty, Hammond dan Gylfasson di atas sangat sesuai dengan realita yang terjadi di Angola. Perkembangan Angola jelas sangat lambat, hal ini tidak terlepas dari dominasi keluarga penguasa dalam mengambil keuntungan dari kekayaan minyak dan berlian, selain itu maraknya korupsi oleh para pejabat level atas hingga bawah menambah derita Angola, berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh lembaga transparasi internasional menempatkan Angola pada posisi ke 161 dari 173 negara dengan raihan poin 19 (Transperancy.org, 2014).

Rezim Dos Santos telah gagal mendistribusikan hasil kekayaan yang dimiliki Angola, hal ini berimplikasi kepada buruknya sistem pendidikan dan kesehatan serta sektor lapangan kerja. beragam ketimpangan yang menghiasi wajah pendidikan di Angola, dari sektor pendidikan lebih dari 40% dari anak-anak di Angola tidak mendapat pendidikan (Humanium.org, 2015). Sementara keadaan sistem kesehatan nasional Angola sangatlah buruk, berdasarkan data WHO, dalam kurun waktu 2000 hingga 2010 hanya ada sekitar 1200 ahli medis di Angola, dimana jika digambarkan dalam persentase maka satu orang dokter untuk 10.000 masyarakat Angola. sementara pada sektor lapangan kerja hanya ada sekitar 1% dari populasi masyarakat Angola bekerja pada sektor minyak. Dan 58 dari 100 masyarakat Angola berpendapatan di bawah satu dollar AS perharinya.

Pada bagian akhir tulisan ini permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwasanya kelimpahan sumber daya alam yang dimiliki Angola, menjadi semacam kutukan bagi masyarakat Angola secara keseluruhan.

*Tulisan ini sudah pernah dipublikasi di majalah Warta Unsyiah.

Leave a comment